Empat abjad itulah yang membuat nama-nama musisi asal Korea Selatan
seperti Wonder Girls, Super Junior, Miss A atau Big Bang mulai menapaki
karier sebagai artis global. Dari Negeri Ginseng, komoditas lagu mereka
membelah negara-negara seperti Jepang, Malaysia, Thailand, China,
Indonesia hingga Amerika. Pada Oktober 2011 misal, boyband Big Bang meraih “Best Worldwide Act” di ajang bergengsi MTV Europe Music Award. Level yang hampir serupa diraih oleh Girls Generation saat berhasil tampil di acara “Late Night with David Letterman” untuk stasiun televisi Amerika dan “Le Grand Journal” untuk stasiun televisi Perancis.
Menggurita. Kok bisa?
Buat kuping awam kayak saya sih, kesan yang didapet saat denger lagu K-pop yang lagi trend tuh emang kece abis - dalam artian berkualitas. Untuk genre Pop, R&B atau Hip-hop lah misal. Beat dan irama yang dihasilkan selalu catchy dan mudah diingat walaupun bahasa yang digunakan sering terdengar sangat asing. Itu baru menyoal kualitas lagu. Kalau liat siapa pembawa lagunya, kamu bisa dibikin lebih tercengang lagi. Cewek-cewek bisa menjerit histeris saban liat anggota boyband K-pop yang ganteng dan bersuara emas. Seakan gak mau kalah, gak sedikit cowok-cowok masa kini yang menyimpan ber-gigabyte video klip atau konser girlband K-pop yang terlihat cantik, seksi dan pandai menari.

(sumber gambar dari sini)
Wajar dan sah-sah aja rasanya saat talenta-talenta K-pop itu menghipnotis jutaan pasang mata penggemar. Toh mereka punya paket komplit baik secara kualitas lagu dan visual. Hanya saja, formasi yang lebih mengglobal dalam scene musik K-pop adalah dalam bentuk boyband-girlband.
Secara harfiah, Wikipedia mendefinisikan boyband sebagai:
History repeats itself. Kali ini K-pop ini gak cuma sekedar urusan gemar-menggemari, tapi juga memengaruhi peta industri musik tanah air dengan fenomena boyband-girlband ini. Bisa kamu lihat dalam tahun-tahun terakhir, gak sedikit jumlah boyband dan girlband lokal baru yang menjamur bagai cendana di musim penghujan. Hampir semua memiliki tipikal dan kiblat ke arah boyband-girlband K-pop - setidaknya kita mengasumsikan seperti itu karena maraknya boyband-girlband lokal berbarengan dengan mengglobalnya K-pop.
Gak sedikit penggemar K-pop yang mencemooh boyband-girlband lokal yang dinilai menjiplak idola mereka dari Korea Selatan sana. Rasanya, hujatan mereka cukup beralasan jika kita menilik penampilan mereka di industri musik Indonesia. Katanya, boyband-girlband kita cenderung berciri sama: menyanyikan lagu dengan lip-sync dan melakukan tarian yang gak kompak. Alhasil saat suatu hari saya iseng menonton semacam acara battle antara boyband asal Korea dan Indonesia, terlihat nyata perbedaan kualitas suara, koreografi dan kostum diantara grup penampil dua negara berbeda tersebut. Gak terlalu mewakili, tapi seenggaknya ada sampel acak yang bisa kita lihat.
Saya sih menilai kalau gejala boyband-girlband yang kembali marak dengan mengacu ke industri K-pop ini akhirnya cuma urusan latah-latahan pasar. Perangkat produksi dan pemasaran musik label mayor mungkin menilai bahwa celah ini bisa dimanfaatkan untuk mendulang keuntungan sembari memberi warna berbeda pada latennya musik melayu di industri musik lokal kita kemarin. Tapi sayangnya, latahnya pasar kali in gak terlalu dibarengi dengan penciptaan kualitas yang merata dan berkelanjutan. Padahal logisnya, komoditas apapun yang diolah sebaik mungkin dengan baik dalam prosesnya akan menciptakan kualitas yang bertahan bukan?
Itu pulalah yang terjadi dengan scene K-pop yang terus berangkat global. Banyak dari artisnya yang memang harus melalui masa-masa pelatihan sampai dirasa memiliki kualitas mumpuni untuk diorbitkan. Ada yang dilatih dalam hitungan bulan, bahkan tahun. Pelatihan itu biasanya mencakup kemampuan menyanyi, menari sampai berakting. Di samping itu, para artis Korea biasanya harus mengikuti jadwal yang udah ditetapkan manajemen untuk 24 jam dalam 7 hari. Gak heran kalau misal kamu sempet iseng nonton stasiun televisi Korea yang menayangkan komoditas K-pop, para artis sono beneran memesona dengan primanya penampilan yang diberikan. Suara dalam penampilan live mereka terdengar jernih dan merdu. Tarian pun terlihat bertenaga dan kompak.
Akhirnya saya menyematkan label “K-pop setengah hati” saban mengamati fenomena boyband-girlband lokal masa kini di layar kaca. Bukan. Bukan karena mereka terlihat meniru artis-artis dari Negeri Ginseng sana, tapi lebih karena boyband-girlband lokal (dan para perangkat pembentuknya) masih sebatas menyemarakkan globalisasi K-pop ini dengan menjadi followers secara instan. Belum sampai mencontoh proses pembentukan talenta-talenta K-pop yang jauh dari kata instan.
Mungkin memang mayoritas masyarakat kita gak sebegitu peduli tentang seberapa instan idola mereka dihasilkan dan muncul sebagai sosok-sosok jelita menghias televisi. Mungkin mereka memang gak butuh sosok penghibur yang bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Yang penting terhibur, bagaimanapun caranya. Seperti teori ekonomi, semua kembali ke pasar dan permintaan. Selama masih menguntungkan, ya jalan terus.
Dan roda industri musik Indonesia akan terus berputar dengan dinamis dan tak pandang bulu.
Menggilas yang tak layak diidolakan lalu melahirkan kembali janin idola yang membuat para penikmatnya berteriak histeris dan gegap gempita - setidaknya yang terlihat di layar kaca.
Menggurita. Kok bisa?
Buat kuping awam kayak saya sih, kesan yang didapet saat denger lagu K-pop yang lagi trend tuh emang kece abis - dalam artian berkualitas. Untuk genre Pop, R&B atau Hip-hop lah misal. Beat dan irama yang dihasilkan selalu catchy dan mudah diingat walaupun bahasa yang digunakan sering terdengar sangat asing. Itu baru menyoal kualitas lagu. Kalau liat siapa pembawa lagunya, kamu bisa dibikin lebih tercengang lagi. Cewek-cewek bisa menjerit histeris saban liat anggota boyband K-pop yang ganteng dan bersuara emas. Seakan gak mau kalah, gak sedikit cowok-cowok masa kini yang menyimpan ber-gigabyte video klip atau konser girlband K-pop yang terlihat cantik, seksi dan pandai menari.

(sumber gambar dari sini)
Wajar dan sah-sah aja rasanya saat talenta-talenta K-pop itu menghipnotis jutaan pasang mata penggemar. Toh mereka punya paket komplit baik secara kualitas lagu dan visual. Hanya saja, formasi yang lebih mengglobal dalam scene musik K-pop adalah dalam bentuk boyband-girlband.
Secara harfiah, Wikipedia mendefinisikan boyband sebagai:
“Sejenis kelompok musik pop atau R&B yang terdiri dari tiga anggota atau lebih, semuanya penyanyi laki-laki muda. Biasanya anggota boy band selain menyanyi juga menari dalam pertunjukan mereka”Era boyband-girlband pernah mencapai era keemasannya di akhir tahun 90-an sampai awal tahun 2000-an. Banyak boyband-girlband bermunculan di ranah nasional dan internasional. Secara internasional kita pasti pernah denger nama-nama kaya Backstreet Boys, Westlife, Spice Girls atau Destiny’s Child. Di ranah nasional juga punya Coboy, ME, Bening dan RSD #anak90.
History repeats itself. Kali ini K-pop ini gak cuma sekedar urusan gemar-menggemari, tapi juga memengaruhi peta industri musik tanah air dengan fenomena boyband-girlband ini. Bisa kamu lihat dalam tahun-tahun terakhir, gak sedikit jumlah boyband dan girlband lokal baru yang menjamur bagai cendana di musim penghujan. Hampir semua memiliki tipikal dan kiblat ke arah boyband-girlband K-pop - setidaknya kita mengasumsikan seperti itu karena maraknya boyband-girlband lokal berbarengan dengan mengglobalnya K-pop.
Gak sedikit penggemar K-pop yang mencemooh boyband-girlband lokal yang dinilai menjiplak idola mereka dari Korea Selatan sana. Rasanya, hujatan mereka cukup beralasan jika kita menilik penampilan mereka di industri musik Indonesia. Katanya, boyband-girlband kita cenderung berciri sama: menyanyikan lagu dengan lip-sync dan melakukan tarian yang gak kompak. Alhasil saat suatu hari saya iseng menonton semacam acara battle antara boyband asal Korea dan Indonesia, terlihat nyata perbedaan kualitas suara, koreografi dan kostum diantara grup penampil dua negara berbeda tersebut. Gak terlalu mewakili, tapi seenggaknya ada sampel acak yang bisa kita lihat.
Saya sih menilai kalau gejala boyband-girlband yang kembali marak dengan mengacu ke industri K-pop ini akhirnya cuma urusan latah-latahan pasar. Perangkat produksi dan pemasaran musik label mayor mungkin menilai bahwa celah ini bisa dimanfaatkan untuk mendulang keuntungan sembari memberi warna berbeda pada latennya musik melayu di industri musik lokal kita kemarin. Tapi sayangnya, latahnya pasar kali in gak terlalu dibarengi dengan penciptaan kualitas yang merata dan berkelanjutan. Padahal logisnya, komoditas apapun yang diolah sebaik mungkin dengan baik dalam prosesnya akan menciptakan kualitas yang bertahan bukan?
Itu pulalah yang terjadi dengan scene K-pop yang terus berangkat global. Banyak dari artisnya yang memang harus melalui masa-masa pelatihan sampai dirasa memiliki kualitas mumpuni untuk diorbitkan. Ada yang dilatih dalam hitungan bulan, bahkan tahun. Pelatihan itu biasanya mencakup kemampuan menyanyi, menari sampai berakting. Di samping itu, para artis Korea biasanya harus mengikuti jadwal yang udah ditetapkan manajemen untuk 24 jam dalam 7 hari. Gak heran kalau misal kamu sempet iseng nonton stasiun televisi Korea yang menayangkan komoditas K-pop, para artis sono beneran memesona dengan primanya penampilan yang diberikan. Suara dalam penampilan live mereka terdengar jernih dan merdu. Tarian pun terlihat bertenaga dan kompak.
Akhirnya saya menyematkan label “K-pop setengah hati” saban mengamati fenomena boyband-girlband lokal masa kini di layar kaca. Bukan. Bukan karena mereka terlihat meniru artis-artis dari Negeri Ginseng sana, tapi lebih karena boyband-girlband lokal (dan para perangkat pembentuknya) masih sebatas menyemarakkan globalisasi K-pop ini dengan menjadi followers secara instan. Belum sampai mencontoh proses pembentukan talenta-talenta K-pop yang jauh dari kata instan.
Mungkin memang mayoritas masyarakat kita gak sebegitu peduli tentang seberapa instan idola mereka dihasilkan dan muncul sebagai sosok-sosok jelita menghias televisi. Mungkin mereka memang gak butuh sosok penghibur yang bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Yang penting terhibur, bagaimanapun caranya. Seperti teori ekonomi, semua kembali ke pasar dan permintaan. Selama masih menguntungkan, ya jalan terus.
Dan roda industri musik Indonesia akan terus berputar dengan dinamis dan tak pandang bulu.
Menggilas yang tak layak diidolakan lalu melahirkan kembali janin idola yang membuat para penikmatnya berteriak histeris dan gegap gempita - setidaknya yang terlihat di layar kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar